Rumah memang tempat ternyaman, dan di sinilah aku tinggal selama bertahun-tahun sampai pada akhirnya aku mengalami perasaan yang kata orang itu cinta.
Aku adalah sebuah benda yang mampu menerangi gelap dan pekatnya malam. Ya, aku adalah sebuah Lilin. Panggil saja begitu, karena memang itu kenyataannya.
Hidup berdua dengan yang semula kuanggap sebagai teman. Ia bertolak belakang denganku. Ia tidak suka cahaya. Sebenarnya, bukan tidak suka melainkan ia akan hilang dengan adanya banyak cahaya. Ia, yang kusebut Kegelapan.
Kami hidup berdampingan di malam hari, saat pagi menjelang dan siang benderang kami tak berguna, tapi aku masih tetap ada meskipun tergeletak di sudut meja.
Saat itu senja hampir memenuhi cakrawala, dan Kegelapan mulai menghampiri.
“Halo lil” sapa Kegelapan. Memang begitu ia memanggilku, “Lil”. Katanya biar lebih dekat.
“Halo juga. Kamu sudah tahu cerita tentang bunga matahari yang tinggal di halaman rumah ini?”.
“Belum. Ada apa?”, tanyanya.
“Kudengar ia sangat menawan dan berwarna cerah. Kalau kamu melihatnya mungkin hidup juga akan terasa lebih cerah dan ceria”, jawabku.
“Oh ya? Tapi, melihatnya pun aku sama saja pekat. Bahkan banyak orang yang mengutuk keberadaanku”.
“Tenanglah. Terlalu banyak pikiran negatif di kepalamu”.
“Hanya kamu yang menawan di hidupku”, katanya.
Sebenarnya, sudah berkali-kali ia mengungkapkan bahwa dirinya mencintaiku. Tapi aku sadar, kami tidak bisa menyatu meski bisa bersama. Bagaimanapun kami sangat amat berbeda. Saat aku bersamanya dengan cahaya yang lebih terang, ia akan hilang. Maka dari itu selama ini cahayaku remang-remang agar ia tidak benar-benar hilang.
Ia mungkin sudah lelah memintaku untuk menerima cinta dan perbedaan yang ada pada kami. Hingga suatu hari, petir menggelegar dan malam begitu dingin. Tanpa cahaya yang berarti, rumah ini sangat menyeramkan. Suara hujan di luar begitu deras, tidak ada suara jangkrik di pojok rumah. Kegelapan menyelimuti, terasa sangat hening di sini. Ah, aku takut. Tapi tidak dengan si Kegelapan. Ia seperti sedang meluapkan amarahnya yang terasa ditahan.
“Lil, sekali lagi aku mengungkapkan perasaanku padamu. Aku benar-benar mencintaimu. Kumohon kamu mau menerimaku”.
“Maaf Kegelapan, aku tidak bisa. Sadarlah, kita tidak bisa bersama. Kita berbeda. Lagipula aku sudah mencintai yang lain”, jawabku.
Benar memang, aku sudah mencintai yang lain, yang perbedaannya tidak terlalu banyak dan sangat sedikit resikonya. Ketika siang ia yang kucinta sangat didamba semua orang. Ah! Tapi tidak juga sih, dia yang kucinta terkadang mendapat hinaan karena amat sangat terang sampai terik dan terasa menyengat. Bunga matahari pun tunduk pada dia yang kucinta. Dia yang kucinta pun juga mencintaiku. Mungkin aku sedikit lebih beruntung, akulah yang mendapatkan cintanya daripada bunga matahari. Dia yang kucinta bernama Mentari.
Kembali lagi pada Kegelapan.
“Si…Siapa?!”, katanya kaget.
“Kamu tahu siapa dia. Dia sama sepertiku, memancarkan cahaya”.
“Cepat katakan siapa!”.
“Mentari”.
“MENTARI?!”.
“Iya. Dia yang selama ini mengisi kekosongan hatiku”.
“Tapi kenapa harus dia?”, tanya Kegelapan dengan amarah yang sudah memuncak.
“Karena kami bisa bersama. Hanya sesimpel itu”.
Tiba-tiba malam semakin gelap dan pekat. Suasana di luar sana sangat mendukung adegan dimana Kegelapan meluapkan emosinya. Cahayaku perlahan redup, hampir padam.
“Kalau aku tidak bisa memilikimu, maka siapapun tidak akan bisa memilikimu selamanya!”, Kegelapan mulai berteriak diiringi gemuruh dari luar sana.
“Apa maksudmu? Sadarlah! Sudah cukup! Sudahi saja semua perdebatan ini karena sampai kapanpun kita tidak bisa bersatu”, kataku meyakinkan.
“TIDAK ADA YANG BISA MEMILIKIMU!”
Kemudian cahayaku dibuatnya semakin terang dan didorongnya aku hingga terjatuh.
Apiku yang ada pada diriku menyebar ke seisi rumah dan membakar semuanya.
“Hentikan! Kamu sudah keterlaluan. Aku tidak bisa menghentikan ini”.
“Takkan kubiarkan kau dimiliki siapapun, kalau aku tidak bisa menghancurkan dia maka akan kubuat kau hilang perlahan”.
“AAAAAAHHHHHH……….!!!!!!”. Apinya sudah membakar tubuhku, aku meleleh dan Kegelapan mulai sedikit memudar.
“Selamat tinggal pujaan hatiku. Kita memang tidak bisa hidup bersama, tapi kita bisa mati bersama”.
Bersamaan dengan perkataan itu, rumah yang kutinggali dan terasa nyaman berubah menjadi tidak layak huni lagi. Aku tidak lagi bisa merasakan nyamannya berada di meja dan dielu-elukan oleh manusia. Rumah menjadi penuh dengan kobaran api, ini terang yang sangat menyilaukan mata.
“MATILAH KITA BERSAMA, LILINKU SAYANG!”, teriak si Kegelapan.
Kemudian terjadi begitu saja, kobaran api meluas. Menghilangkan Kegelapan dan mematikan tubuhku. Akhirnya, kami hilang. Mati. Bersama. Seperti perkataanya, kami tidak bisa hidup bersama tapi bisa mati bersama.
0 Comments